Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen: Secangkir Kopi Untuk Nenek



Oleh : Emma Kaze (Penulis buku Lelaki Hermaprodit)

SOEARA-PELADJAR.COM - Handphoneku tiba-tiba berteriak, memecah sunyi tempat kosku malam hari itu.

“Bapak?”

“Sehat, Nar?”      
                                                            
“Alhamdulillah Pak, Narti sehat-sehat saja. Tumben Bapak malam-malam telepon. Ada apa?”

“Ini, Nar. Mau mengabarkan kalau nenekmu sakit. Beliau ingin kamu, cucu perempuan satu-satunya, pulang. Beliau ingin ketemu denganmu secepatnya. Kangen katanya.”

“Sakit apa Pak?”

“Asma mendadak.”

“Baiklah. Besok pagi Narti pulang, Pak.”

“Ya sudah kalau gitu, Bapak tutup teleponnya ya. Hati-hati kalau pulang.”

“Iya.”


Maunya tak khawatir, tapi tetap saja aku khawatir. Karena beliau adalah nenekku satu-satunya yang masih ada di dunia ini. Beliaulah yang ngopeni [merawat] aku sejak bayi sampai SD. Kedekatan emosional antara aku dan nenek jauh lebih terasa dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri. Aku merasa neneklah yang paling sayang kepadaku. Beliau adalah pensiunan guru SD di dekat rumahku. Ada sebuah piagam penghargaan sebagai guru berprestasi dari bupati dipasang di dinding rumah nenek. Sejak kecil, aku lebih sering tidur di rumah nenek. Meskipun rumah kami juga cuma disela dua rumah milik tetangga, yang juga masih kerabat sendiri.

Setiba di rumah nenek, aku langsung menuju kamar beliau. Ternyata sudah ada bapak dan ibu di sana. Kucium tangan bapak dan ibu.
Kulihat sosok tubuh yang tak berdaya diatas kasur. Kasian sekali, nenek tinggal sendirian di rumahnya. Beliau tak mau ikut tinggal bersama empat anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Alasannya, karena rumah ini adalah peninggalan satu-satunya almarhum kakek. Beliau tak ingin sama sekali pindah atau menjual rumah ini. Setiap hari, ibuku mengirimkan makanan kepada nenek di rumahnya.

“Narti..sini cah ayu,” Nafas nenek terengah-engah. Melihat cucu sulungnya ini datang, beliau tersenyum cukup manis seketika, nampak sebagian besar gigi beliau yang sudah mrothol [tanggal]. Aku adalah cucu perempuan satu-satunya dan yang tertua, sementara adik-adik sepupuku semuanya laki-laki. Masih krucil-krucil.

“Nenek…” Kucium tangan beliau, seperti biasa. Tanpa bertanya tentang sakitnya, aku pun langsung memijat ringan kaki beliau. “Nenek, apa yang terjadi?”

“Kemarin sore nenek jatuh di kamar mandi. Sudah… nenek sudah sehat kok,” nenek nampak masih terengah-engah. Sesekali beliau memegangi dadanya.

“Masih terasa sakit Nek? Narti panggilkan dokter saja ya.”

Nenek tak menjawab. Beliau tiba-tiba saja meneteskan air mata. Tes..tes.. Hatiku ngilu melihatnya.

“Sudahlah Nek, sampun dados penggalih.” [jangan terlalu dipikirkan] Aku penasaran. 
Kuingin tahu isi kepala beliau. Apa yang dipikirkan nenek? Ibuku membisiki. Hmmm.. ternyata, karena tak bisa membayar utang enam ratus ribu ke tetangga. Entah untuk apa beliau meminjam uang itu, kami tak tahu. Ya, enam ratus ribu, jumlah yang ‘tidak hanya’ bagiku, yang masih ngemis ke orang tua, maha-siswa. Tipe nenek yang juga nggak mau dibayari ibu!! Keras kepala!! Mungkin sifatnya yang satu ini benar-benar tertransfer ke cucu sulungnya ini. Tak sudi dikasihani orang!!!!

Kuputuskan untuk tidur di rumah nenek malam hari itu.
Keesokan paginya, setelah kusuapi nenek dengan bubur ayam, kutemani beliau. Bercakap ringan dan kupijat kaki beliau pelan. Tiba-tiba beliau bertanya sesuatu yang tak pernah ku berada pada topik pembicaraan seperti ini, dengan nenek, sampai usiaku yag hampir dua puluh tahun ini hidup dekat dengan beliau.

“Nar, kamu tau Isa??”

“Isa?? Isa siapa? Nabi Isa maksudnya??” aku memastikan.

“Ya, dia. Sebenarnya dia itu siapa??”

“Dia itu ya Nabi, Nek. Seperti juga Nabi kita, Nabi Muhammad. Beliau diutus Alloh Subhanahu wata’ala ke dunia untuk mengajarkan agama Tauhid. Meng-Esa-kan Alloh. Supaya kita hanya menyembah ke Alloh saja. Tapi, agama mereka yang sekarang sudah tidak seperti aslinya ketika Nabi Isa hidup, Nek. Sudah berubah. Sesat. Salah.”

“Kenapa orang-orang itu nyebut Isa Tuhan??” tanya nenek lagi. Pelan sekali beliau berkata. Aku sebenarnya tak tega meneruskan percakapan ini melihat beliau yang masih Nampak kesakitan.

“Oooo… orang-orang yang bilang kalo Tuhan banyak itu?? Mereka tidak mau menggunakan akalnya untuk memantabkan iman mereka. Padahal sedikit saja mereka mau mikir dan nggak angkuh, mereka akan semakin menemukan jawaban kalau sebenarnya agama mereka itu salah. Tapi kesombongan mereka telah mengalahkan akal mereka sendiri.”
“Jelaskan pada Nenek, Nar. Nenek ingin tahu.”

“Tapi nenek nggak akan kecapekan kan kalau Narti lanjutkan?”

“Iya, cucuku sayang..” Senyum nenek tersungging manis.

“Baiklah, Nek. Begini, orang-orang yang bilang kalo Tuhan itu banyak mengatakan : ‘agama itu tak perlu dipikirkan!’. Mereka takut menemukan kesalahan pada agama mereka, Nek.”

“O ya?” muka nenek seperti murid yang menunggu jawaban gurunya.

“Iya,” aku melanjutkan pelan, “Agama yang benar sekarang ya Islam. Islam sudah sempurna. Kasihan mereka, sesat, karena menganggap Tuhan ada tiga, tiga dalam satu, satu dalam tiga. Mereka menyebutnya Trinitas, Nek.

“Apa? Tas..Tas? apa? Trinitas?

”Iya, Trinitas. Mereka punya Tuhan anak, Tuhan bapak dan roh kudus yang suci katanya. Isa itu mereka anggap sebagai Tuhan anak, Alloh dikatakan Tuhan Bapak, dan Malaikat Jibril sebagai roh suci. Aneh ya Nek, Tuhan kok banyak. Lek tukaran trus pripun [kalo bertengkar trus gimana], yang satu pengen cuaca cerah trus yang satu pengen hujan. Rusak kan Nek?!, hehe” kata-kata kupilih sesederhana mungkin, yang bisa diterima beliau.

“Awakmu iki iso-iso wae [kamu ini bisa saja],” kata nenek sambil senyum lagi. Aku senang karena paling tidak untuk sekarang, beliau sudah bisa tersenyum, dan tak nampak terbebani dengan utangnya itu.

“Siapa dulu dong, cucunya nenek gitu loh, hehe.. Lha mereka malah menyebut Nabi Isa itu Tuhan. Trus, Tuhan kok makan, minum, (maaf) berak alias buang hajat?? Beraknya di jamban, trus jambannya dimana lho?? Tuhan kok sama dengan yang diciptakan. Nopo nggih?, menungso ingkang ndamel springbed niki nggih sami kaleh springbed?? Nopo ngaten?? [apa iya?, manusia yang membuat springbed ini sama dengan springbednya?? Apa ya gitu?? (sambil aku menggoyang-goyang springbed tempat kami berdua beristirahat)]. Trus, mereka kan juga punya banyak macam kitab Injil, tergantung pengarangnya. Ada Injil Lukas, Injil Matius, bahkan tiap negara ya beda-beda isinya. Hasil rapate menungso [hasil perjanjian manusia]. Ada perjanjian lama, ada perjanjian baru. Kathah sanget kan nenek, kok mboten setunggal mawon pedomane, nanenek mbingungi tiyang ajenge milih kitab Injil sing pundi, sak karepe dewe, amburadul dadose [banyak banget kan nenek, kok nggak satu saja pedomannya, bikin orang bingung saja mau milih kitab Injil yang mana, sekehendaknya sendiri, amburadul jadinya]. Mboten mudheng kulo Nek [nggak habis pikir aku nenek].”

“Oalah..ngono to nduk??? [oalah..begitu ya nak???]”

“Setunggal maleh, nenek. Nabi Isa riyen sejatosipun dereng sedo disalib, tapi diangkat Alloh dateng langit [Satu lagi, nenek. Nabi Isa dulu sebenarnya belum mati disalib, tapi diangkat Alloh ke langit]. Yang mati itu Yudhas, manusia lain yang diserupakan Alloh mirip sekali dengan Nabi Isa. Alloh berkuasa atas segala sesuatu. Dan hanya Alloh yang tau beliau sekarang dimana. Nanti sebelum kiamat, nabi Isa akan mengatakan bahwa orang-orang penyenenek tiga Tuhan itu telah sesat sesesat-sesatnya, hanya Islam yang benar. Wallohu a’lam bishowab.”
Setelah kata-kataku itu, nenek terdiam. Menerawang ke langit-langit kamar. Entah apa yang beliau pikirkan.

Itulah nenekku. Sebuah pertanyaan beliau yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Penjelasanku kepada beliau mungkin tak selengkap penjelasan orang-orang yang pakar dan ahli dalam ilmu agama. Tak secanggih penjelasan seorang ustadzah.

“Eh iya, Nenek suka sekali minum kopi kan?” Nenek tak menjawab, hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Senyumnya merekah lagi. “Prinsip Trinitas orang-orang Nasrani itu mirip dengan secangkir kopi, Nek. “

“Secangkir kopi? Memangnya Tuhan mau diminum? hehe”

“Bukan begitu maksud Narti. Begini. Secangkir kopi itu kan ada airnya, kopi dan gula. Menurut orang-orang Nasrani, secangkir kopi tidak akan dikatakan secangkir kopi jika tanpa air dan gula. Ketiga unsur ini harus ada secara bersamaan, gitu kata mereka Nek! Satu dalam tiga, tiga dalam satu. Seperti itulah konsep trinitas yang mereka yakini. Tapi apakah perumpamaan mereka itu benar? Weleh, tunggu dulu!” kulanjutkan memijat kaki nenek dan meneruskan ocehanku.

“Cucuku ini kok pintar sekali ya”

“Ah, nenek. Aku gemes melihat mereka. Padahal, Nek, sedikit saja mereka mau berpikir, istilah ‘air’, ‘kopi’ dan ‘gula’, yang ketika kita sebut masing-masingnya akan memberikan gambaran tertentu dalam benak mereka. ‘Air’ adalah benda yang menempati ruang dan ciri-ciri fisik lain. Sama halnya ketika mendengar ‘kopi’. Kopi ya yang rasanya pahit dan berwarna coklat-hitam. Dan saat mendengar ‘gula’, terbayang sebuah benda yang rasanya manis dan seterusnya sifat yang melekat padanya. Anak taman kanak-kanak atau playgroup aja tau apa itu gula. hehe.”

“Iya, Nar, kamu benar.”

“Nah, masing-masing punya gambaran spesifik dalam otak kita. Memang gitu, secara fitrahnya. Kalo nggak, bisa-bisa seseorang yang kita suruh ambil air, misalkan, malah menyodorkan bubuk kopi. Kacau kan nanti! Apapun itu, kata-kata ‘air’, ‘kopi’ dan ‘gula’ emang harus mewakili fakta spesifik dan tidak boleh saling dipertukarkan. Air ya air. Kopi ya kopi, dan gula ya gula. Masing-masing berdiri sendiri. Air, kopi dan gula terpisah secara fisik.”

“Jadi kesimpulannya bagaimana, cucuku tersayang?” Nenek tersenyum sumringah. Aku semakin senang melihat beliau seperti itu.

“Eh, iya. Ya kayak gitu tadi, Nek. Pembahasan Trinitas juga sama sih. Berlaku hukum penunjukan spesifik seperti dijelaskan diatas. Hehe, maaf ya Nek kalau bahasaku kurang bisa dipahami.”

“InsyaAllah Nenek ngerti, kan gini-gini Nenek juga Sarjana Pendidikan!” nenek berbangga.
“Hehe. Mantab Nek! Aku jadi tambah semangat belajar lagi. Nah kembali ke laptop! Hehe. Kita bicara tentang kata ‘anak’, ‘bapak’ dan ‘ruh kudus’ pada konsep Trinitas ya. Masing-masing kata ini mau nggak mau pasti menunjuk pada satu objek atau fakta tertentu. Masing-masing tak bisa dipertukarkan seperti anak adalah bapak dan sekaligus anak. Tak bisa juga disatukan dengan ruh kudus (Malaikat jibril). Yang pasti, Malaikat itu merupakan objek/makhluk Tuhan yang juga diciptakan oleh Tuhan. Tidak mungkin Tuhan menciptakan Tuhan (dirinya sendiri) dalam waktu yang bersamaan. Nggak bisa seperti itu Nek!! Eh..eh.. maafkan, nada bicaraku tinggi.” Aku garuk-garuk kepala.

“Ooo, jadi begitu ya.”

“Eh, belum selesai Nek, kesimpulan akhirnya kita bisa sampaikan ke mereka bahwa mustahil Tuhan itu berbilang!! Mustahil Tuhan itu ada dua, tiga, empat, lima dan seterusnya. Konsep mereka itu terlalu dibuat-buat atas nama Tuhan deh!! Tuhan kok dibuat mainan?! Jadi tertolaklah kalo ajaran akidah Nasrani ini dikatakan berasal dari Tuhan. Ini adalah bentuk pengingkaran (kufur) kepada Tuhan dan para Rasul-Nya. Hmm padahal Alloh Subhanahu wata’ala juga sudah berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata bahwa Alloh adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.” [TQS. Al-Maidah: 73]. Esa artinya tunggal, tak ada sekutu, tak berbilang (berbilang = berjumlah lebih dari satu), bukan juga berarti satu. Karena satu merupakan hasil penjumlahan bilangan-bilangan. “Satu” bisa berupa (½+½), (1/3+1/3/+1/3) atau (1/4+3/4). Tuhan itu Esa. Tak ada sekutu bagi-Nya. Dia tak membutuhkan sama sekali bantuan dari yang lain. Selesai! Maknyus kan Nek, penjelasanku? Hehehehe”

Nenek tak berkata apa-apa setelah aku merampungkan penjelasan yang mirip pidato itu. Aku jadi berfikir, “Kok aku tega sekali ya mengoceh di depan orang yang sedang sakit, sudah sepuh [tua] lagi.

Melihat kondisi nenek yang kelihatannya membaik, aku lalu balik ke Malang karena kebetulan akan ujian tengah semester.

Beberapa minggu di kos. Aku tak mendengar kabar tentang kambuhnya sakit nenek. Alhamdulillah. Namun, malam itu seakan berulang. Bapak telepon lagi dari rumah.

“Nar, pulanglah besok pagi sebelum subuh ya. Nenek butuh kamu! Pokoknya harus pulang, nggak boleh ditunda! Apapun alasannya.” Aku terpaksa mengamini kata-kata bapak. Pulang kampong, padahal masih banyak agenda kampus yang harus aku ikuti dan selesaikan. I have no choices! Demi nenekku tersayang.

Pagi di esok harinya, aku pulang dengan naik bus. Ketika hampir sampai rumah, aku berdiri mendekat pintu bus Puspa Indah, mendekat ke kondektur bus untuk turun.
Namun tiba-tiba aku terhenyak. Awan gelap seakan menyelimuti pagi itu. Hatiku meracau, kacau. Aku bahkan bisa mendengarkan degup jantungku sendiri. Kulihat iring-iringan jenazah keluar dari gang jalan rumahku, tengah menyeberang jalan menuju ke sebuah pemakaman yang tak jauh dari perempatan jalan. Iring-iringan itu melintas tepat di depan bus yang kutumpangi. Seorang demi seorang yang kukenal memikul keranda jenazah berwarna hijau bertuliskan kalimat tauhid, ada bapak, om dan tetangga-tetanggaku. Allohu akbar!!! Aku turun dari bus, seketika duduk di tepi jalan, lemas tak berdaya.
Sesaat itu semua menjadi nampak gelap.

“Nenek, aku belum sempat mengucapkan maafku dan mencium keningmu..”
Selang beberapa minggu, baru kutahu yang sebenarnya, bahwa nenekku dulunya seorang Katolik. Semoga percakapanku dengan nenek ketika itu tidaklah sia-sia dan beliau meninggal dalam keadaan keimanan yang terbaik.

“Secangkir kopi itu untukmu, Nek”. [mv]

Posting Komentar untuk "Cerpen: Secangkir Kopi Untuk Nenek"