Merasa Dipaksa Dalam Kebaikan?
Oleh: Yuyun Rumiwati
Sobat, di antara kita tentu pernah ada pengalaman dipaksa dalam kebaikan. Meski pada hal yang kecil mungkin. Mungkin masa kecil kita tidak suka sayur, terus disuruh makan sayur. Iya jadilah kita merasa dipaksa makan sayur.
Ada juga, yang merasa dipaksa pilih jurusan sekolah atau kuliah. Padahal aslinya tidak minat. Atau bahkan merasa dipaksa untuk bersegera shalat jamaah di masjid. Karena kebetulan orang tua kita dulu amat disiplin dalam shalat jamaah. Hingga tak ada kolong almari, pun sudut rumah yang bisa untuk bersembunyi ketika suara adzan menggema. Atau kita pernah merasa dipaksa untuk ngaji?, Dipaksa untuk menutup aurot?
Jika ditanya apa sebab kita merasa dipaksa? Tentu banyak jawaban dan alasan dari kita. Mulai dari tipe orang yang mengajak kebaikan tidak asyik. Karena kita memang bukan tipe orang yang mudah dipaksa, tapi minta dipahami. Atau karena kita tidak faham kebaikan tersebut. Atau masih segudang alasan lain.
Namun, dari beberapa sebab kita merasa terpaksa. Ada dua hal pokok dari sisi kita mengapa kita merasa dipaksa dalam kebaikan. Diantaranya:
Pertama: Karena kita belum faham betul arti pentingnya kebaikan tersebut. Kita tidak merasa ada manfaat kebaikan tersebut. Yang ada dibenak kita hanya tidak enak, aku tidak suka, aku tidak mau dipaksa. Andaikan pun mengerjakan nikmat tak kita rasakan. Justru menggerutu yang kerap menemani. Andai di foto, bayangkan gimana wajah kita saat itu?🙈
Dan baru kita sadari tak kala kita dewasa dan usia kian beranjak atau ketika ada kejadian yang membuat kita lebih dalam merenung, akhirnya kita dengan sepenuh jiwa berkata. Baru sekarang saya merasakan begitu penting dan bermanfaatnya ketegasan orang tua saya dulu ketika memaksa segera bangun di waktu subuh. Bersegera mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Mengingatkan menutup aurat ketika ke luar rumah. Karena memang itu yang saya butuhkan sebagai seorang muslim.
Karenanya kesadaran dan pemahaman adalah faktor mutlak yang dibutuhkan agar kita kuat melakukan kebaikan. Karenanya menuntut ilmu menjadi jalan utama kita untuk faham arti pentingnya kebaikan tersebut.
Kedua: Kita merasa dipaksa karena kita belum terbiasa. Sebagai contoh siapa yang bilang menulis itu tidak penting. Terlebih menulis untuk syiar Islam. Siapa yang menganggap membaca itu bukan hal yang penting?
Lalu kenapa pemahaman makna pentingnya aktifitas tadi pun belum menggerakkan jari dan mata ini dengan senang hati untuk menulis dan membaca? Karena apa?
Komitmen sudah dibuat. Training motivasi sudah diikuti. Komunitas cinta menulis dan membaca sudah kita masuki. Kenapa masih berat. Bahkan, ketika amanah menulis dan belajar datang. Masih saja ada keterpaksaan dan rasa berat untuk memulai.
Ini tidak lain, dan bukan karena belum terbiasa saja. Bukankah, para ahli di bidangnya itupun bisa karena biasa. Dalam kasus ini tiada lain yang harus kita lakukan selain melatih Habits atau kebiasaan. Awalnya sulit. Tapi dengan niat Lilllah dan tekat bulat insyallah kemudahan ada.
Lalu bagaimana konsekuensi kita sebagai seorang muslim?
Islam telah kita ambil dengan sepenuh keyakinan. Konsekuensi dari syahadat kita adalah taat atas segala titah-Nya. Dan menjauhi larangan-Nya.
Ikrar untuk hidup dan mati lillahi robbil alamin terucap dalam untaian doa dalam shalat kita. Entah kita sadari atau tidak. Itulah kita, itulah ikrar kita. Maka logisnya, tak ada kata terpaksa ketika Allah dan rasul-Nya menyeru kita.
Dengan jawaban "sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami taat. Sebagaimana surat An-Nur : 51 Allah berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Terjemah Arti: Sesungguhnya jawaban
oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Masih beratkah kita? Masih merasa dipaksa kah kita? Mari bersama kita muhasabah. Apa faktor penyebabnya? Apa kita belum faham dan mengenal kebaikan yang terukur dalam seruan-Nya? Atau karena kita belum terbiasa memaksa diri kita mengenal dan memahaminya?
Memang kita sadari di sistem kapitalis dimana rasa enak diukur dengan materi. Tak mudah kita membiasakan dalam kebaikan. Tapi kita yakin selama ada niat. Sembari kita menyampaikan kebaikan kepada yang lain kebuasan itu akan mulai terwujut.
Haruskah kita menunggu sadar ketika sudah menghadap-Nya. Hingga kita sadar bahwa tiap titah-Nya adalah kebaikan untuk kita di dunia dan akhirat?
Yaa Rabb..
Ampuni kami..yang mungkin masih berat dalam kebaikan. Tapi jangan jauhkan hati dan nalar kami dalam mencintai kebaikan dan ahlu kebaikan. Aamiin. (reper/baim)
Posting Komentar untuk "Merasa Dipaksa Dalam Kebaikan?"