Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hari Perempuan Internasional : Kemuliaan Perempuan Hanya Ada Dalam Islam


Oleh: Thya Rahman (The Voice of Muslimah Papua Barat)

Setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Penetapan tanggal ini rupanya melalui proses yang panjang sejak lebih dari 100 tahun lalu. Seperti tahun-tahun lalu, tahun ini UN Women merayakan International Women's Day 2020 dengan tema “I am Generation Equality: Realizing Women’s Rights”.

Penyetaraan hak laki-laki dan perempuan menjadi agenda pokok yang diperjuangkan oleh para feminis,  mulanya merupakan respon atas  kultur  yang  tidak  menghargai perempuan  secara semestinya  sebagai  manusia.  Namun  belakangan  ini,  feminisme yang dituangkan ke  dalam  paham  kesetaraan  gender telah  menjadi  tren  baru  masyarakat modern. Kesetaraan yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya, kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan.

Pada kenyataannya, ketika perempuan  berusaha  untuk  “mendapatkan segalanya" maka  ia pun harus dapat  “melakukan segalany". Padahal secara biologis terdapat perbedaan signifikan pada laki-laki dan perempuan yang berkontribusi pada perbedaan karakter dasar, kapasitas, dan keunggulan  maupun  kelemahan  masing-masing.  Penyamaan  posisi  dan  peran  laki-laki dan perempuan jelas menafikan semua itu dan merupakan bentuk ketidakadilan karena  dua  pihak  yang  berbeda  kapasitas  dan  karakteristik  dipaksa  untuk menghadirkan performa yang sama bahkan berkompetisi menjadi yang terbaik.

Di era Islam awal, perempuan termasuk makhluk yang tidak berdaya, baik di dunia Arab maupun di luar Arab. Alquran lah yang pertama kali mendeklarasikan hak-hak perempuan dan mereka diterima sebagai makhluk hidup tanpa syarat apapun.

Ada banyak pihak yang menganggap (atau bahkan menuduh) Islam itu tidak memuliakan dan menghargai kaum perempuan. Mereka menilai Islam itu sebagai “agama kejam” yang menempatkan kaum perempuan semata-mata sebagai “objek kekerasan”, baik “kekerasan domestik” (rumah tangga) maupun “kekerasan publik”, baik “kekerasan kultural” maupun “kekerasan struktural” (politik-kekuasaan).

Alquran menggariskan bahwa perempuan dapat melangsungkan pernikahan, dapat meminta cerai dari suaminya tanpa persyaratan yang diskriminatif, dapat mewarisi harta ayah, ibu, dan saudaranya yang lain, dapat memiliki harta sendiri dengan hak penuh (tidak ada yang bisa merebutnya), dapat mengasuh anaknya (hingga anak dapat menentukan pilihan) dan dapat mengambil keputusan sendiri secara bebas.

Selain itu, perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu sebagaimana laki-laki. Perempuan  juga  diperbolehkan  keluar  rumah  dan  beraktivitas  dengan memenuhi beberapa kaidah.  Juga berhak meriwayatkan hadist dan pergi ke medan peperangan  sebagai  paramedis  maupun  pejuang,  sebagaimana  ia  mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang.

Dalam Islam, meski istri itu pihak yang dipimpin, bukan berarti ia rendah. Justru ia begitu dimulyakan. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Syarh ‘Uqudul Lujjanin, mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ternyata tugas memasak, mencuci pakaian itu tugas suami, bukan istri. Bahkan istri yang menyusui anaknya harus diberi ganti ongkos oleh suami. Ini semata-mata untuk memulyakan kedudukan wanita.

Bahkan Nabi pun dikenal sebagai seorang “feminis” yang sangat menghargai dan mencintai perempuan. Nabi berusaha merombak budaya yang menyudutkan posisi perempuan dengan memerintahkan laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada kaum perempuan.

Kehadiran Rasulullah sebagai seorang revolusioner, membawa perubahan yang amat besar bagi kehidupan perempuan. Hal ini terbukti dengan dekonstruksi yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap cara pandang bangsa Arab yang menganggap rendah kaum perempuan. Kepedulian dan pembelaan terhadap kaum perempuan terus dilakukan oleh Rasulullah. Ini terbukti dari teladan beliau: “Sebaik-baik kamu adalah yang berbuat baik terhadap istrinya dan aku adalah yang terbaik terhadap istriku”, dan beberapa hadis lain yang senada dengan itu.

Jadi, kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam konsep Islam telah jelas diterangkan. Apalagi sampai merombak Syari’ah dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akan tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata ikhlas mencarikan wanita keadilan dan kemulyaan. (reper/baim)

Posting Komentar untuk "Hari Perempuan Internasional : Kemuliaan Perempuan Hanya Ada Dalam Islam"